Powered By Blogger

Minggu, 26 Desember 2010

Tentang Bivak


Bivak adalah tempat berlindung sementara di alam bebas dari aneka gangguan cuaca, binatang buas, dan angin tentunya. Memang semua itu bisa mempergunakan Tenda Dome atau Flysheet, akan tetapi, bagaimana jika alat berlindung siap pakai tadi rusak ataupun sobek saat di alam bebas? Sudah tentu kita harus bisa membuat bivak atau shelter dari bahan sekeliling kita.

Bivak atau shelter dapat dibagi atas :
1. Bivak alam
Tempat berlindung yang dibuat dengan menggunakan bahan - bahan yang
terdapat di alam seperti ;
a. Pohon tumbang
b. Lubang pada pohon besar
c. Gua
d. Bivak dari bambu
e. Bivak dari daun tumbuh - tumbuhan

2. Bivak buatan
a. Menggunakan plastik
b. Menggunakan Fly sheet

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Bivak yaitu ;

1. Untuk berapa lama
Dengan merencanakan akan berapa lama berlindung di suatu tempat,
penghematan tenaga dan kesadaran emosi akan terjaga

2. Sendiri atau kelompok
Buatlah tempat berlindung yang sesuai dengan kebutuhan, tidak terlalu
luas dan tidak terlau sempit sehingga kehangatan tempat berlindung tetap
terjaga

3. Memilih tempat
untuk menjaga kenyamanan dan tetap hangatnya tempat berlindung serta
menghindari cepatnya penurunan daya tahan tubuh, perhatikan hal berikut ;

a. Dirikan bivak yang terlindung dari terpaan angin, jangan dirikan bivak
ditempat yang terbuka dari terpaan angin

b. Dirikan bivak pada tempat yang kering dan rata, untuk daerah yang
lembab, buatlah para - para yang kokoh. Jangan dirikan bivak dilereng
gunung atau lembah

c. Dirikan bivak dibawah kerindangan pohon yang tembus sinar matahari.
Jangan dirikan dibawah pohon yang rapuh dan lapuk

d. Pada situasi bivak yang permanen, usahakan dirikan pada daerah yang
dekat dengan sumber air. Jangan dirikan bivak dialiran sungai dan
jalur lintas binatang.

Di daerah tempat kita akan mendirikan bivak hendaknya bukan merupakan sarang nyamuk atau serangga lainnya. Kita juga perlu perhatikan bahan pembuat bivak. Usahakan bivak terbuat dari bahan yang kuat dan pembuatannya baik, sebab semuanya akan menentukan kenyamanan.

Bentuk lain dari alam yang bisa dimanfaatkan sebagai bivak yaitu gua, lekukan tebing atau batu yang cukup dalam, lubang - lubang dalam tanah dan sebagainya. Apabila memilih gua, kita bisa memastikan tempat ini bukan persembunyian satwa. Gua yang akan ditinggali juga tak boleh mengandung racun. Cara klasik untuk mengetahui ada tidaknya racun adalah dengan memakai obor. Kalau obor tetap menyala dalam gua tadi artinya tak ada racun atau gas berbahaya di sekitarnya.

Kita juga bisa memanfaatkan tanah berlubang atau tanah yang rendah sebagai tempat berlindung. Tanah yang berlubang ini biasanya bekas lubang perlindungan untuk pertahanan, bekas penggalian tanah liat dan lainnya. Pastikan tempat - tempat tersebut tidak langsung menghadap arah angin. Kalau terpaksa menghadap angin bertiup kita bisa membuat dinding pembatas dari bahan-bahan alami. Selain menahan angin, dinding ini bertugas untuk menahan angin untuk tidak meniup api unggun yang dibuat di muka pintu masuk .

Tentang Edelweis

Edelweis adalah bunga yang pasti sudah tak asing lagi bagi para penggiat alam bebas mendaki gunung, karena bunga abadi ini saat ini hanya mampu tumbuh dan besar di ketinggian gunung dan memerlukan sinar matahari penuh. Bunga cantik ini memang akrab dengan para pendaki dan mengilhami banyak orang melalui keindahan dan keabadian yang ditampilkannya. Tak heran kalau bunga ini disebut sebagai bunga abadi, karena mekar dalam waktu yang cukup lama.

Bunga edelweis asli atau yang sering disebut dengan Everlasting Flower sebenarnya adalah bunga Leontopodium yang hanya ada di pegunungan alpen, bukan bunga Edelweis Jawa atau Anaphalis javanica. Tapi apa daya sudah terlanjur, karena bunga ini yang sebenarnya bunga adalah serbuk kuning yang dalam waktu 1 - 3 hari setelah mekar akan rontok dan menyisakan kelopak bunganya saja. Kelopak bunga yang tahan lama inilah yang sering 'dicolong" oleh para pendaki gunung. Dan mereka pun akhirnya kecolongan karena hanya membawa kelopak bunga abadi. Bunga Edelweiss merupakan spesies tanaman berbunga endemik yang banyak ditemukan di daerah pegunungan di Jawa, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Lombok.

Bunga Edelweiss yang menyukai sinar matahari penuh ini dalam ukuran dewasa dapat mencapai 8 meter tingginya, tapi pada umumnya hanya mencapai tinggi kurang dari satu meter. Bunga edelweiss umumnya terlihat antara bulan April – Agustus, dimana pada sekitar akhir Juli – Agustus merupakan fase mekar terbaiknya. Bunga Edelweiss ( Anaphalis javanica ) sangat popular dikalangan wisatawan. Bunga ini dikeringkan dan dijual sebagai souvenir. Kondisi ini menyebabkan spesies tanaman ini mengalami kelangkaan . Di wilayah gunung BromoTengger Jawa Timur, tanaman ini dianggap punah. Jumlahnya yang terus menurun membuat tanaman ini termasuk yang dilindungi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango , Jawa Barat. Larangan untuk memetik bunga ini terpampang jelas, namun kerap kali pemetikan bunga Edelweiss sulit dihindarkan dari tangan - tangan jahil yang mencoba menyelundupkan bunga tersebut.

Kabar gembiranya, bunga Edelweis Jawa ( Anaphalis Javanica ) ini sudah banyak dibudidayakan oleh para petani di daerah Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah. Para petani ini membudidayakannya dengan cara menanam anakan yang tumbuh dari biji dan tersebar di sekitar pohon induknya serta ditanam di daerah dataran tinggi lebih dari 1000 mdpl, pada tanah liat berkapur atau berpasir dengan pH ( keasaman tanah ) antara 4 - 7.

Kemauan dan kesadaran yang gigih dari kita untuk membuat Edelweis tetap menjadi bunga abadi dan tumbuh di alamnya. Biarkan dia disana untuk menyambut para pendaki dengan indahnya. Jaga Edelweis dari hati.

Cara Mengatasi Gangguan Binatang Saat Di Alam Bebas

Dikala di alam bebas, sering dan bahkan pasti akan mendapatkan gangguan binatang, yang walaupun kecil, suka di anggap sepele, namun jika di rasakan sangatlah mengganggu. Nah tentunya ingin bebas dari gangguan bukan? Atau ingin melakukan cara agar gangguan binatang tadi bisa di atasi? Siap, ada trik - trik nya dan mudah di lakukan, tanpa biaya besar dan tak harus menuju UGD.

Gangguan Kalajengking dan Lipan

Pijatlah daerah sekitar luka sampai racun keluar
Ikatlah tubuh di sebelah pangkal yang digigit
Tempelkan asam yang dilumatkan di atas luka
Bobokkan serbuk lada dan minyak goreng pada luka
Taburkan garam di sekeliling bivak untuk pencegahan.

Lintah 

Apabila digigit lintah jangan balas menggigitnya, tetapi:

Teteskan air tembakau pada lintahnya
Taburkan garam di atas lintahnya
Teteskan sari jeruk mentah pada lintahnya
Taburkan abu rokok di atas lintahnya, jangan sebungkusnya, sayang, rokok mahal.

Lebah Apabila disengat lebah :

Oleskan air bawang merah pada luka berkali-kali
Tempelkan tanah basah/liat di atas luka
Jangan dipijit-pijit
Tempelkan pecahan genting panas di atas luka.

Nyamuk

Obat nyamuk, autan, dll
Bunga kluwih dibakar
Gombal dan minyak tanah dibakar kemudian dimatikan sehingga asapnya bisa mengusir nyamuk
Gosokkan sedikit garam pada bekas gigitan nyamuk.

 Semut

Letakkan cabe merah pada jalan semut
Letakkan sobekan daun sirih pada jalan semut
Gosokkan obat gosok pada luka gigitan

Laron

Mengusir laron yang terlalu banyak dengan cabe yang digantungkan

Harimau dan Singa

Kabur sekencang - kencangnya!

Monyet atau Kera

Jika di ganggu Kera, cukup dengan ganti mengganggunya, jika di taksir ya balas menaksirnya, aman dan beres.

Sederhana bukan cara mengatasi gangguan binatang saat di alam bebas? Selamat berpetualang ya kawan..

Menyambangi Kawah Raksasa Gunung Tambora

Gunung Tambora
Mendaki Gunung Tambora (2.722 m dpl) adalah salah satu ‘agenda’ bagi pehobi mendaki gunung Indonesia. Maklum, selain panorama kawahnya yang memikat, gunung ini adalah gunung tertinggi di Pulau Sumbawa. Waktu yang tepat untuk mendaki Tambora adalah bulan Juli dan Agustus, karena biasanya kedua bulan ini bertepatan dengan waktu libur dan, tentu saja, keadaan cuaca yang ramah.
Minggu pagi itu, di kota Bima. Sinar matahari terasa menyengat kulit, membuat siapa saja lebih memilih berteduh. Tapi terik matahari tak mampu menyurutkan aktivitas di terminal bis antarkota. Semakin siang, semakin ramai suasana tempat itu. Sebuah bis kecil dengan tujuan Labuhan Kenanga tampak beranjak meninggalkan hiruk-pikuk terminal.
Bis yang sudah penuh oleh penumpang, semakin sesak ketika di tengah perjalanan awak bus tetap memaksa mengambil penumpang, meski tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa di dalam bis. Belum lagi barang bawaan para penumpang yang segambreng, sungguh tidak menyisakan ruang yang cukup lega di dalam bis.
Iklim savana tropis menganugerahkan pemandangan alam yang khas sepanjang perjalanan dari Bima. Perbukitan yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar yang menonjolkan warna kecokelatan atau kekuningan. Hamparan padang rumput luas dengan selingan pohon-pohon keringnya. Serasa di Afrika, begitu kurang lebih
penisbahan yang terpikir di benak.
Selepas Kempo (56 km ke arah barat dari Bima), pemandangan bertambah. Dari arah barat, Teluk Saleh menampakkan pesona biru lautnya. Menyegarkan pandangan mata yang selepas kota Bima dicekoki oleh pemandangan daratan.
Di desa Kadindi, transportasi beralih ke truk. Truk ini yang mengantar perjalanan selanjutnya menuju dusun Pancasila, yang masih harus ditempuh kurang lebih 6 kilometer lagi. Pancasila adalah nama kampung di kaki barat laut Gunung Tambora yang merupakan salah satu titik awal pendakian Gunung Tambora.
Pendakian
Meninggalkan dusun Pancasila, jalan tanah tak beraspal menuntun langkah kaki. Sisi kiri dan kanan jalan ditumbuhi oleh pepohonan lebat. Kalau beruntung, akan terlihat kera-kera bergelayutan, berpindah dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lain. Bahkan tanpa rasa takut, mereka melintas menyeberangi jalan.
Semakin jauh berjalan, hari semakin gelap. Sementara, jalan yang semula hanya bisa dilewati dua truk kecil, berujung pada jalan besar yang lebarnya cukup untuk dilalui oleh dua truk besar secara berdampingan. Rupanya jalan besar ini adalah jalur truk-truk besar yang lalu-lalang mengangkut kayu gelondongan hasil penebangan di kaki Gunung Tambora. Entah ke mana kayu-kayu tersebut diangkut.
Di tempat truk berhenti, ada sebuah jalan kecil masuk ke dalam hutan. Inilah jalur pendakian menuju puncak Tambora. Jalur yang dilewati cukup lebar dan landai untuk dilewati sepeda motor. Jadi tak terlalu melelahkan untuk mencapai shelter pertama. Shelter pertama adalah sebuah bangunan tak berdinding. Inilah shelter satu-satunya yang berwujud bangunan.
Shelter berikutnya, meski disebut shelter, hanyalah sebutan untuk tempat perhentian tanpa bangunan. Beberapa meter dari shelter pertama, terdapat sebuah sumber air yang dibuat dengan menampung air yang disalurkan oleh pipa.
Semakin dekat dengan shelter kedua, kondisi jalur mulai berbeda dan sedikit menyulitkan. Selain semak belukar yang mulai menutupi jalur, banyak batang pohon roboh yang melintang di tengah jalur. Mengangkat kaki tinggi-tinggi atau merangkak di bawah batang-batang pohon tersebut adalah gerakan tambahan yang harus dilakukan. Seakan memaksa agar lebih giat menggerakkan anggota tubuh selain kaki.
Dari shelter ini, pendakian dilanjutkan dengan menyeberang sungai kecil dekat tempat bermalam. Bersiap-siaplah untuk tersengal-sengal. Karena bila sebelum tiba di shelter kedua, paru-paru dimanjakan oleh jalur yang landai, setelah melintas sungai kecil ini, jalur menanjak telah menanti.
Berhasil melewati tanjakan, jalur berliku-liku lengkap dengan batang-batang pohon tumbang yang melintang, kembali menghadang. Bak ”polisi tidur”, batang-batang pepohonan itu mengurangi laju ayunan langkah kaki. Sedikit menyebalkan memang. Tapi kokok ayam hutan menjelang sore itu, menjadi pengalih perhatian dari kejengkelan terhadap batang-batang pohon tadi.
Shelter ketiga berhasil dicapai ketika hari sudah sore. Di sinilah pendakian hari kedua berakhir. Letak shelter di punggungan yang tidak terlalu lebar, membuat pemandangan lembah di kiri kanannya dapat terlihat. Sebuah tanda terpasang di pohon, menunjukkan arah sumber air. Tampaknya tidak sulit mendapatkan air saat mendaki Tambora.
Purnama kembali menampakkan diri, ketika malam mengganti siang. Rasanya sayang sekali, harus meninggalkan pemandangan alam ini dengan meringkuk menahan dingin di dalam tenda. Apalagi dinihari keesokan harinya, summit attack (mencapai puncak dengan membawa barang secukupnya) akan dilakukan. Sambil mempersiapkan summit attack, pemandangan malam hari di lereng Tambora ternikmati jua.
Summit attack
Memangnya sedang mendaki Everest! Begitu gerutu yang sempat terlontar dari mulut, ketika dinihari pukul 04.00 harus bangun dan memaksa mengeluarkan tubuh dari pelukan sleeping bag yang hangat. Tapi tak ada pilihan lain. Hanya ini cara yang mungkin untuk mencapai puncak sebelum tengah hari. Menembus kegelapan dinihari, hajatan menuju puncak ditunaikan. Di langit, bulan purnama telah meninggi. Cahayanya yang terang, menembus sela-sela rerimbunan daun pepohonan. Pertanda keadaan alam yang ramah.
Sesekali bibir meringis menahan rasa perih di telapak tangan dan kaki. Rupanya sepanjang jalan banyak tumbuh jelatang. Daun-daunnya yang berduri halus, menyambar anggota tubuh yang telanjang tanpa pelindung. Bahkan celana panjang tak sanggup melindungi kaki dari sengatan tumbuhan itu.
Masih cukup jauh dari zona puncak, sewaktu fajar merekah, menandai pergantian hari. Kokok ayam hutan terdengar bersahut-sahutan, seiring hari baru yang semakin terang. Sejenak langkah dihentikan untuk mengisi perut. Sarapan yang telah disiapkan sejak malam pun segera dikeluarkan dari day pack untuk disantap. Sayang, sudah dingin.
Kawah
Berangsur-angsur vegetasi beralih dari pepohonan menjadi semak dan perdu. Suatu pertanda bahwa sebentar lagi zona puncak akan dimasuki. Memang betul. Di kejauhan tampak puncak Tambora yang tandus dan berwarna kecokelatan. Begitu pula ketika menoleh ke arah barat, laut dan pulau-pulau di sekitar Sumbawa dapat terlihat. Yang agak mengherankan adalah onggokan kotoran menjangan di atas tanah. Ternyata tak hanya manusia yang sering mengunjungi puncak. Bisa dibilang, puncak Tambora adalah bagian dari dunia komunitas hewan berkaki empat itu.
Sampailah langkah kaki kami di bibir kawah. Kalau menghitung dari peta topografi, diameter kawah sekitar 6 km. Dinding-dinding terjalnya, menjulang tinggi hingga lebih dari 1.000 m. Dataran luas terhampar di dasar kawah. Inilah sisa letusan tahun 1815. Bisa dibayangkan betapa dahsyat letusan kala itu. Ahli geologi memperkirakan bahwa volume puncak yang hilang karena pembentukan kawah ini sebesar 30 km3. Mungkin tepat di atas tengah kawah inilah dulunya puncak 4.000 m berada.
Sebuah bukit kecil tandus menjulang di sisi barat kawah. Itulah puncak Tambora setelah malapetaka tahun 1815. Segera perhatian tertuju ke sana. Hanya hati-hati. Semenjak memasuki zona puncak, permukaan tanah ditutupi oleh kerikil. Bila tidak waspada, bisa terjungkal karena terpeleset.
Di pucuk bukit, tonggak batu yang tingginya kira-kira setengah meter, telah menanti. Inilah tanda ketinggian 2.722 m.
Dari sini pandangan bisa diarahkan dengan leluasa. Selain kawah di sebelah timur, nun jauh di arah barat pucuk Gunung Rinjani terlihat menyembul dari selaput tipis awan. Sementara, rasa lelah pun terasa luruh ketika hembusan angin menerpa tubuh.
===

Hobi Mendaki Gunung


Mendaki Gunung Tambora (2.722 m dpl) adalah salah satu ‘agenda’ bagi pehobi mendaki gunung Indonesia. Maklum, selain panorama kawahnya yang memikat, gunung ini adalah gunung tertinggi di Pulau Sumbawa. Waktu yang tepat untuk mendaki Tambora adalah bulan Juli dan Agustus, karena biasanya kedua bulan ini bertepatan dengan waktu libur dan, tentu saja, keadaan cuaca yang ramah.
Minggu pagi itu, di kota Bima. Sinar matahari terasa menyengat kulit, membuat siapa saja lebih memilih berteduh. Tapi terik matahari tak mampu menyurutkan aktivitas di terminal bis antarkota. Semakin siang, semakin ramai suasana tempat itu. Sebuah bis kecil dengan tujuan Labuhan Kenanga tampak beranjak meninggalkan hiruk-pikuk terminal.
Bis yang sudah penuh oleh penumpang, semakin sesak ketika di tengah perjalanan awak bus tetap memaksa mengambil penumpang, meski tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa di dalam bis. Belum lagi barang bawaan para penumpang yang segambreng, sungguh tidak menyisakan ruang yang cukup lega di dalam bis.
Iklim savana tropis menganugerahkan pemandangan alam yang khas sepanjang perjalanan dari Bima. Perbukitan yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar yang menonjolkan warna kecokelatan atau kekuningan. Hamparan padang rumput luas dengan selingan pohon-pohon keringnya. Serasa di Afrika, begitu kurang lebih penisbahan yang terpikir di benak.
Selepas Kempo (56 km ke arah barat dari Bima), pemandangan bertambah. Dari arah barat, Teluk Saleh menampakkan pesona biru lautnya. Menyegarkan pandangan mata yang selepas kota Bima dicekoki oleh pemandangan daratan.
Di desa Kadindi, transportasi beralih ke truk. Truk ini yang mengantar perjalanan selanjutnya menuju dusun Pancasila, yang masih harus ditempuh kurang lebih 6 kilometer lagi. Pancasila adalah nama kampung di kaki barat laut Gunung Tambora yang merupakan salah satu titik awal pendakian Gunung Tambora.

Pendakian
Meninggalkan dusun Pancasila, jalan tanah tak beraspal menuntun langkah kaki. Sisi kiri dan kanan jalan ditumbuhi oleh pepohonan lebat. Kalau beruntung, akan terlihat kera-kera bergelayutan, berpindah dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lain. Bahkan tanpa rasa takut, mereka melintas menyeberangi jalan.
Semakin jauh berjalan, hari semakin gelap. Sementara, jalan yang semula hanya bisa dilewati dua truk kecil, berujung pada jalan besar yang lebarnya cukup untuk dilalui oleh dua truk besar secara berdampingan. Rupanya jalan besar ini adalah jalur truk-truk besar yang lalu-lalang mengangkut kayu gelondongan hasil penebangan di kaki Gunung Tambora. Entah ke mana kayu-kayu tersebut diangkut.
Di tempat truk berhenti, ada sebuah jalan kecil masuk ke dalam hutan. Inilah jalur pendakian menuju puncak Tambora. Jalur yang dilewati cukup lebar dan landai untuk dilewati sepeda motor. Jadi tak terlalu melelahkan untuk mencapai shelter pertama. Shelter pertama adalah sebuah bangunan tak berdinding. Inilah shelter satu-satunya yang berwujud bangunan.
Shelter berikutnya, meski disebut shelter, hanyalah sebutan untuk tempat perhentian tanpa bangunan. Beberapa meter dari shelter pertama, terdapat sebuah sumber air yang dibuat dengan menampung air yang disalurkan oleh pipa.
Semakin dekat dengan shelter kedua, kondisi jalur mulai berbeda dan sedikit menyulitkan. Selain semak belukar yang mulai menutupi jalur, banyak batang pohon roboh yang melintang di tengah jalur. Mengangkat kaki tinggi-tinggi atau merangkak di bawah batang-batang pohon tersebut adalah gerakan tambahan yang harus dilakukan. Seakan memaksa agar lebih giat menggerakkan anggota tubuh selain kaki.
Dari shelter ini, pendakian dilanjutkan dengan menyeberang sungai kecil dekat tempat bermalam. Bersiap-siaplah untuk tersengal-sengal. Karena bila sebelum tiba di shelter kedua, paru-paru dimanjakan oleh jalur yang landai, setelah melintas sungai kecil ini, jalur menanjak telah menanti.
Berhasil melewati tanjakan, jalur berliku-liku lengkap dengan batang-batang pohon tumbang yang melintang, kembali menghadang. Bak ”polisi tidur”, batang-batang pepohonan itu mengurangi laju ayunan langkah kaki. Sedikit menyebalkan memang. Tapi kokok ayam hutan menjelang sore itu, menjadi pengalih perhatian dari kejengkelan terhadap batang-batang pohon tadi.
Shelter ketiga berhasil dicapai ketika hari sudah sore. Di sinilah pendakian hari kedua berakhir. Letak shelter di punggungan yang tidak terlalu lebar, membuat pemandangan lembah di kiri kanannya dapat terlihat. Sebuah tanda terpasang di pohon, menunjukkan arah sumber air. Tampaknya tidak sulit mendapatkan air saat mendaki Tambora.
Purnama kembali menampakkan diri, ketika malam mengganti siang. Rasanya sayang sekali, harus meninggalkan pemandangan alam ini dengan meringkuk menahan dingin di dalam tenda. Apalagi dinihari keesokan harinya, summit attack (mencapai puncak dengan membawa barang secukupnya) akan dilakukan. Sambil mempersiapkan summit attack, pemandangan malam hari di lereng Tambora ternikmati jua.

Summit attack
Memangnya sedang mendaki Everest! Begitu gerutu yang sempat terlontar dari mulut, ketika dinihari pukul 04.00 harus bangun dan memaksa mengeluarkan tubuh dari pelukan sleeping bag yang hangat. Tapi tak ada pilihan lain. Hanya ini cara yang mungkin untuk mencapai puncak sebelum tengah hari. Menembus kegelapan dinihari, hajatan menuju puncak ditunaikan. Di langit, bulan purnama telah meninggi. Cahayanya yang terang, menembus sela-sela rerimbunan daun pepohonan. Pertanda keadaan alam yang ramah.
Sesekali bibir meringis menahan rasa perih di telapak tangan dan kaki. Rupanya sepanjang jalan banyak tumbuh jelatang. Daun-daunnya yang berduri halus, menyambar anggota tubuh yang telanjang tanpa pelindung. Bahkan celana panjang tak sanggup melindungi kaki dari sengatan tumbuhan itu.
Masih cukup jauh dari zona puncak, sewaktu fajar merekah, menandai pergantian hari. Kokok ayam hutan terdengar bersahut-sahutan, seiring hari baru yang semakin terang. Sejenak langkah dihentikan untuk mengisi perut. Sarapan yang telah disiapkan sejak malam pun segera dikeluarkan dari day pack untuk disantap. Sayang, sudah dingin.

Kawah
Berangsur-angsur vegetasi beralih dari pepohonan menjadi semak dan perdu. Suatu pertanda bahwa sebentar lagi zona puncak akan dimasuki. Memang betul. Di kejauhan tampak puncak Tambora yang tandus dan berwarna kecokelatan. Begitu pula ketika menoleh ke arah barat, laut dan pulau-pulau di sekitar Sumbawa dapat terlihat. Yang agak mengherankan adalah onggokan kotoran menjangan di atas tanah. Ternyata tak hanya manusia yang sering mengunjungi puncak. Bisa dibilang, puncak Tambora adalah bagian dari dunia komunitas hewan berkaki empat itu.
Sampailah langkah kaki kami di bibir kawah. Kalau menghitung dari peta topografi, diameter kawah sekitar 6 km. Dinding-dinding terjalnya, menjulang tinggi hingga lebih dari 1.000 m. Dataran luas terhampar di dasar kawah. Inilah sisa letusan tahun 1815. Bisa dibayangkan betapa dahsyat letusan kala itu. Ahli geologi memperkirakan bahwa volume puncak yang hilang karena pembentukan kawah ini sebesar 30 km3. Mungkin tepat di atas tengah kawah inilah dulunya puncak 4.000 m berada.
Sebuah bukit kecil tandus menjulang di sisi barat kawah. Itulah puncak Tambora setelah malapetaka tahun 1815. Segera perhatian tertuju ke sana. Hanya hati-hati. Semenjak memasuki zona puncak, permukaan tanah ditutupi oleh kerikil. Bila tidak waspada, bisa terjungkal karena terpeleset.
Di pucuk bukit, tonggak batu yang tingginya kira-kira setengah meter, telah menanti. Inilah tanda ketinggian 2.722 m.
Dari sini pandangan bisa diarahkan dengan leluasa. Selain kawah di sebelah timur, nun jauh di arah barat pucuk Gunung Rinjani terlihat menyembul dari selaput tipis awan. Sementara, rasa lelah pun terasa luruh ketika hembusan angin menerpa tubuh.
===

Pesona Gunung Rinjani

Gunung Rinjani dengan ketinggian 3.726mdpl, terletak pulau lombok disebelah timur pulau Bali. Gunung Rinjani adalah gunung tertinggi ke dua di Indonesia di luar pegunungan Irian Jaya dan masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani
Gunung Rinjani
, dengan luas sekitar 40.000 hektar serta gunung berapi tertinggi di Indonesia yang sering di kunjungi oleh para pendaki di Indonesia maupun mancanegara. Dikelilingi oleh hutan dan semak belukar seluas 76.000 hektar merupakan pemandangan yang asri bagi Gunung Rinjani.
Gunung Rinjani memiliki kawah dengan lebar sekitar 10 km, terdapat danau kawah yang disebut danau Segara Anak dengan kedalaman sekitar 230m. Air yang mengalir dari danau ini membentuk air terjun yang sangat indah, mengalir melewati jurang yang curam. Danau Segara Anak ini banyak terdapat ikan mas dan mujair, sehingga sering digunakan para pendaki untuk memancing. Dengan warna airnya yang membiru, danau ini bagaikan anak lautan, karena itulah disebut Segara Anak. Pemandangan di pagi hari ketika matahari terbit merupakan bagaian dari “surga” pemandangan Gunung Rinjani yang amat mengesankan. Biasanya di sekitaran danau digunakan oleh para pendaki untuk melepas lelah bahkan sampai berhari-hari.
Menurut masyarakat setempat danau “Segara Anak” memiliki misteri serta kekuatan gaib. Keyakinan masyarakat apabila Danau Segara Anak terlihat luas menandakan bahwa umur orang orang yang melihat itu masih panjang. Sebaliknya jika tampak sempit maka menandakan umur si penglihat pendek, untuk itu harus melakukan bersih diri artinya harus berjiwa tenang, bangkitkan semangat hidup, pandang kembali danau sepuas-puasnya. Biasanya pada setiap tahun masyarakat setempat mengadakan upacara adat. Sampai saat ini puncak Gunung Rinjani diyakini oleh masyarakat Lombok sebagai tempat bersemayam ratu jin, penguasa gunung Rinjani yang bernama Dewi Anjani. Dari puncak ke arah tenggara terdapat sebuah kaldera lautan debu yang dinamakan Segara Muncar. Pada saat-saat tertentu dengan kasat mata dapat terlihat istana Ratu Jin. Pengikutnya adalah golongan jin yang baik-bauk. Menurut kisah masyarakat Lombok Dewi Anjani adalah seorang putri raja yang tidak diijinkan oleh ayahnya menikah dengan kekasih pilihannya, maka ia pun menghilang di sebuah mata air yang bernama Mandala, dan akhirnya dia menjadi penguasa dunia gaib.
Gunung Rinjani memiliki berbagai ekosistem yang masih terjaga secara alami. Hutan cemara, acasia, padang rumput bahkan edelweiss merupakan pemandangan yang dominan di perjalanan saat menuju puncak Gunung Rinjani. Selain memiliki berbagai jenis burung, juga terdapat binatang jenis lain seperti harimau, monyet, rusa, bahkan landak yang menjadi penghuni Gunung Rinjani ini.

Rock Climbing

Rock Climbing atau panjat tebing adalah kegiatan yang menyenangkan dan menantang bagi penyukanya. Walaupun kadar bahaya dari pemanjatan adalah besar, tetapi dengan peralatan yang lengkap dan tersedia, niscaya segala halangan itu bisa kita minimalisir dengan baik. Tentu banyak gaya dan variasi dalam panjat tebing, yang pada dasarnya di mulai dari pendakian gunung, dan disana mendaki tebing alam. Dan itulah hingga panjat tebing ada karena para pendaki gunung tertantang dengan tebing di gunung. Jadi panjat tebing atau rock climbing adalah memanjat pada tebing batu yang curam.

Amerika Serikat adalah pemimpin dalam olah raga panjat tebing sepanjang tahun 60s dan 70, dengan jumlah yang didedikasikan pemanjat bekerja untuk meningkatkan teknik pendakian. Panjat tebing telah dinyatakan sebagai olahraga baru.
Dibandingkan panjat tebing tradisional, olahraga ini sekarang membuat penggunaan yang paling maju peralatan panjat tebing.
Dengan meningkatnya minat terhadap olahraga, para pemanjat memilih untuk melakukan rute yang sulit dan pergerakan yang sulit. Pada 1980-an, adalah kecenderungan untuk melakukan pemanjatan yang cepat namun sulit untuk di panjat.
Pengembangan pendakian sebagai olahraga menghasilkan penemuan baru keselamatan gear untuk memastikan keselamatan dari para pemanjat. Dengan berlakunya indoor dinding, panjat tebing teknik kini dapat dilakukan tanpa venturing ke luar daerah tertentu.
Sejarah memberitahu kita bahwa pada awalnya panjat tebing adalah olah raga yang berasal dari sebuah gunung. Banyak perkembangan yang terjadi selama bertahun-tahun sampai menjadi olahraga sendiri, dan terus mendapatkan popularitas sampai sekarang ini.

Perkembangan Rock Climbing di Indonesia

Panjat tebing masuk ke Indonesia seiring dengan berkembangnya teknik mendaki. Harry Suliztiarto, pemuda asal Surabaya yang menjadi mahasiswa Seni Rupa ITB, mulai memperkenalkan panjat tebing pada tahun 1976. Saat itu dia mencoba menaklukkan tebing-tebing alam di gunung kapur Citatah.

Dia terdorong dan punya impian mencoba memanjat tebing saat membaca buku From Hill Walking to Alpine Climbing karya Allan Blackshaw. Peristiwa ini kemudian menjadi tonggak sejarah berdirinya organisasi kegiatan alam bebas yang mengkhususkan pada kegiatan memanjat, dengan nama Skygers Amateur Rock Climbing Group.

Pada tahun 1980 kegiatan panjat tebing mulai memasuki babak baru, di mana kegiatan ini bukan lagi bersifat petualangan tetapi telah menjadi olahraga prestasi. Perkembangan ini dimulai ketika diadakannya lomba panjat tebing alam di tebing pantai Jimbaran Bali pada tahun 1987.

Nah, di tahun 1988 mulai diperkenalkan dinding panjat tebing buatan (wall climbing) oleh empat pemanjat dari Perancis yang datang ke Indonesia. Sekaligus, Harry Suliztiarto membentuk wadah sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan hobi, untuk memanajemen kegiatan panjat tebing agar berjalan dengan baik dengan nama, Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI).

Pada tahun 1990, untuk pertama kalinya diadakan lomba panjat dinding buatan dengan tinggi papan lima belas meter. Koni Jatim dan beberapa Koni daerah lain, juga mensahkan Panjat tebing menjadi cabang olahraga. Inilah sejarah dimulainya lomba panjat tebing buatan di Indonesia sampai saat ini.

Jadi bagi sahabat yang ingin mencoba Rock Climbing atau Panjat Tebing ini silakan lakukan latihan yang rutin dan serius dan juga lengkapi dengan peralatan yang memang di khususkan untuk panjat tebing, bukan menggunakan tangga untuk memanjat tebing lho yaaa....apalagi sambil membawa parang, ya itu namanya mau memetik kelapa...Selamat memanjat dan nanti tentukan gaya dalam panjat tebing atau pelajari dahulu dalam melakukan kegiatan tadi, karena pasti ada tehnik dasar dalam panjat tebing .

Keindahan Wisata Senaru dan Bayan

Senaru yang berarti sinar aru merupakan sebuah nama desa yang terletak di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Desa yang terletak di kaki rinjani ini memiliki kelebihan bila dibadingkan dengan desa-desa lainnya di KLU. Karena disamping sebagai pintu gerbang pendakian ke Rinjani, juga memiliki beberapa obyek wisata yang indah dan menawan.Tidak heran, bila banyak para wisatawan mancanegara maupun lokal yang datang berkunjung menikmati keindahan desa Senaru. Karena selain dapat menikmati wisata air terjun Sindang Gila dan Tiu Kelep, juga para pengunjung dapat berwisata di rumah adat senaru sambil menikmati kebun kopi yang hijau ranau milik warga setempat.

Bagi pengunjung yang ingin berkeliling ke beberapa obyek wisata alam dan wisata budaya, dapat menggunakan jasa para guide yang tegabung dalam kelompok “Panorama Work”, yang setiap saat siap mengantar para pengunjung. Dengan mengeluarkan biaya sekitar Rp. 200.000,- per orang, pengunjungpun akan diantar ke beberapa tempat wisata, seperti rumah adat Senaru, Air Terjun Tiu Kelep, menikmati pemandangan Bangket Bayan, Masjid Kuno Bayan dan rumah adat tradisional Desa Karang Bajo.

Di Balai adat Senaru, wisatawan dapat melihat rumah yang cukup unik, yang lantainya dari tanah liat dengan pagar bedek dan atap daun rumbia yang cukup sejuk karena dikelilingi pohon kayu besar yang rindang. Masyarakat adatpun akan menyambut setiap pengunjung dengan ramah. Dan dari tempat ini, jika mata mengarah ke luar, akan tampak pohon-pohon kopi milik warga.

Jika sudah puas menikmati keunikan rumah adat, para guidepun akan mengantar ke Air Terjun Sindang Gila. Di tempat ini dapat disaksikan butiran-butiran air terjun laksana embun di pagi hari. Sebagian masyarakat meyakini bahwa air terjun ini dapat mengobati pegal-pegal linu atau penyakit reumatik. Wallhu’alam.

Dan obyek wisata yang dimiliki Desa Senaru yang tidak kalah menariknya adalah Air Terjun Tiu Kelep yang terletak sekitar satu kilo meter dari Air Terjun Sindang Gila. Air Terjun ini memiliki kolam renang yang alami. Dan bila pengunjung mandi, konon bisa awet muda dan enteng jodoh bagi pemuda atau pemudi yang sulit mendapat pasangan hidup.

Bila merasa sudah puas menikmati keindahan alam dan air terjun, para guide pun akan mengantar wisatawan ke Bangket Bayan yang membentang luas dan berdekatan dengan hutan adat. Dari Bangket Bayan ini jika mengarahkan pandangan ke selatan akan tampak laut lepas berwarna keputih-putihan.

Tentu perjalanan para pengunjung tidak akan lengkap rasanya, sebelum mendatangi masjid Kuno Bayan yang dibangun ratusan tahun silam. Masjid yang berdiri di sebuah bukit kecil ini dikelilingi beberapa kuncup makam para penyebar agama Islam di Bayan. Keunikan masjid kuno ini, disamping atapnya terbuat dari santek ( bambu) juga lantai masjidnya masih tetap seperti dahulu kala yakni dari tanah liat, tanpa tersentuh semen sedikitpun.

Dan sekitar 200 meter dari tempat ini, pengunjung dapat menikmati rumah unik yang dikenal dengan sebutan rumah adat tradisional gubug Karang Bajo. Rumah inipun ditempati oleh para toak lokak (tetua), pemangku, dan para tokoh adat setempat.

Menurut Ismail, salah seorang guide mengakui, keindahan wisata alam dan budaya yang dimiliki Senaru dan Bayan, tidak bisa dirangkai dengan kata-kata, dan setiap pengunjung yang diantarnya mengaku puas menikmati keindahan obyek wisata yang dimiliki Lombok Utara ini.